AKU TAK KUASA MENATAP MATAMU


Bung, sekarang giliran kamu. Hayoh!
Jangan sungkan-sungkan !"
Saat aku menatap tubuh telanjang
di atas tempat tidur itu, terus
terang rasa tidak tegaku muncul.
Gadis itu masih terlalu kecil, kataku
dalam hati. Payudaranya saja belum
tumbuh benar. Tapi lendir-lendir
basah keputihan yang mengalir dari
liang kemaluannya itu berkata lain.
"Tunggu apa lagi? Hayoh! Kalau tidak
mau ya, jangan di sini!"
Gadis kecil itu membuka sedikit
kelopak matanya. Aku terenyuh saat
menyaksikan matanya seolah
memohon agar penderitaannya
segera diakhiri. Ia harus pulang,
kata matanya, ia harus menyetor
lembar puluhan ribu itu pada ibunya.
Ia harus membayar untuk keperluan
sekolahnya. Tapi ia masih terlalu
kecil, lagi kata hatiku berseru. Kamu
punya otak? Punya hati nurani?
Otak mungkin sudah terbang, saat
aku mendekati gadis kecil itu. Tapi
nurani masih ada Bung, karena itu
aku menutup mata.
"Hkk.." gadis kecil itu mengerang saat
batang kemaluanku menusuk masuk.
Licin, gumamku dalam hati. Beberapa
orang tertawa di belakangku.
" Begitu baru bagus. Hayoh..! Sikat dia!
Tancap terus sampai mampus !"
Aku menggerakkan pinggulku tanpa
perasaan. Tidak sekali pun kubuka
mata ini. Sebab kalau kubuka dan
aku melihat wajahnya yang meringis
itu, aku pasti akan segera
melarikan diri.
"Hayoh..! Hahaha..! Hayoh..!"
Laki-laki yang suka berseru "Hayoh!"
itu bernama Jomblang. Jelas-jelas
itu nama panggilan. Nama aslinya
aku tidak tahu, karena aku baru
mengenalnya malam itu, saat aku
dan teman-temanku bersenda gurau
di sebuah warung kopi. Sayang, saat
Erwin menyapanya, aku tidak
melihat gadis kecil itu berdiri di
belakangnya. Lihatlah sekarang, apa
yang sedang kulakukan. Aku sedang
bersetubuh dengan seorang bocah
ingusan yang kukira usianya terpaut
dua puluh tahun denganku.
"AKK..! AKK..!" begitu aku mendengarnya
memekik-mekik.
Suara tawa sahabat-sahabatku,
beserta teriakan-teriakan penambah
semangat mereka masih juga dapat
kudengar.
" Hayoh..! Sikat, Bleh..!" juga suara si
Jomblang yang parau itu.
Aku heran, kenapa juga tadi aku
mau diajak ke rumah ini. Kenapa
juga tadi aku mau disuruh masuk
ke dalam kamar untuk menyaksikan
semuanya. Dan kenapa aku mau pula
saat disuruh 'melakukan'?
"Ampun, Oom..! Ampun..!" tiba-tiba aku
mendengar si gadis kecil merengek.
Tidak tahan, kubuka mataku. Benar
juga. Hatiku pilu seketika. Ternyata
gadis kecil itu sedang menangis
sesunggukan. Beban lima lelaki pasti
terlalu berat untuknya.
"Lihat! Dia minta ampun! Hahaha..!"
suara si Jomblang terdengar lagi,
tawanya semakin keras.
Aku berhenti menggerakkan
pantatku. Ya. Aku berhenti.
Kupandangi gadis itu yang sudah
diam dalam-dalam. Kelopak matanya
yang tadi terpejam juga membuka.
Dan ia menatapku di balik genangan
air matanya.
" Oom.."
"Hayoh..! Kenapa berhenti?"
"Sudah, Blang, sudah. Kasihan itu anak
kecil. "
Saat aku menoleh, kulihat salah
seorang temanku memegangi pundak
si Jomblang. Tetapi orang berwajah
liar itu langsung menepis.
" Edan! Masa cuma segitu? Hayoh!
Terus lagi.. !"
Aku kembali berpaling ke arah si
gadis kecil. Hatiku merasa iba. Gadis
kecil itu memejamkan matanya. Ia
begitu pasrah.
Sorakan si Jomblang kembali
terdengar saat aku bergerak lagi,
" Hayoh..! Hayoh..! Hayoh..!"
Hayoh kepalamu, pikirku berang. Tapi
aku bergerak juga. Akhirnya, aku
tidak tahan lagi. Kutarik batang
kemaluanku dan ejakulasi di atas
bulu kemaluannya yang jarang-
jarang itu. Sorakan-sorakan
menghilang, juga hayoh-hayoh. Semua
seolah meresapi kejadian itu.
Bangsat..! Batinku dalam hati. Bukan
pada si hayoh-hayoh itu. Tapi pada
diriku sendiri.
"Bagus, Bung. Anda luar biasa..!" si
Jomblang menepuk pundakku dari
belakang.
Saat kubalikkan tubuh, teman-
temanku berkerenyit dengan
menggeleng. Erwin tampak
menyiratkan rasa penyesalan itu di
bibirnya yang tergigit. Selebihnya,
hanya si hayoh-hayoh yang
terkekeh-kekeh. Mengapa orang-
orang ini begitu takut pada si liar
itu, tanyaku dalam hati. Hatiku
terasa kecut saat menyadari
bahwa aku juga takut.
"Blang, kami pulang dulu." akhirnya
Erwin membuat semua orang selain
si hayoh, bernafas lega.
Tanpa memperhatikan, Jomblang
mengayunkan lengan.
" Hahaha. Oke, oke. Terima kasih dan
hati-hati di jalan. "
Aku berharap dia mati ditabrak bus
nyasar saat ia keluar wisma nanti.
Bodoh, itu tidak akan terjadi.
Sementara di depan mataku, yang
terjadi saat itu si Jomblang sudah
menindih tubuh gadis kecil itu dan
menciuminya dari jidat ke payudara.
Monyet, umpatku sekali lagi sebelum
meninggalkan tempat itu.
Selama perjalanan pulang, tidak ada
seorang pun dari kami berempat
yang mengeluarkan suara. Semuanya
sibuk dengan ingatan akan dosa
masing-masing. Oke, kami tadi baru
saja menggauli beramai-ramai
seorang gadis di bawah umur.
Menggelikan mengingat perut-perut
buncit kami yang seharusnya
kenyang berisi pengalaman tentang
getir hidup. Seorang bocah dan lima
lelaki? Sinting! Tapi itulah yang
teradi belasan menit yang lalu.
"Hati-hati, Ton."
"Iya, kalian juga," balasku dengan
memaksa diri untuk tersenyum.
Panther kelabu itu segera melaju
dari hadapanku. Saat kubalikkan
tubuh, yang kutatap pertama kali
adalah rasa menyesal.
Rumah benar-benar sepi saat aku
masuk. Lampu ruang tamu dan
ruang tengah juga sudah dimatikan.
Jam di atas TV menunjukkan pukul
setengah dua pagi. Berusaha tidak
menimbulkan kegaduhan, aku melepas
sepatu kerja yang kukenakan, lalu
menuju ke kamar tidur.
"Pa..?" wanita itu, isteriku,
membalikkan tubuh saat aku
menutup pintu.
" Belum tidur, Ma..?" tanyaku sambil
tersenyum. Ia menggelengkan
kepala.
" Dari mana..?"
Dari memperkosa seorang bocah,
kata hatiku.
" Dari jalan-jalan. Dengan yang lainnya,"
jawabku seraya melepas kemeja dan
celana.
" Minum..?" kudengar wanita itu
bertanya lagi.
" Tidak, hanya kopi." kataku.
Kuraih sebuah kaos dan celana
pendek.
" Sini..!" bisiknya setelah aku
berpakaian.
Saat aku tiba di pinggir tempat
tidur, ia merentangkan kedua
tangannya.
" Aku mau memelukmu. Pelukan
selamat datang. " bisiknya seraya
tersenyum.
Kubalas senyumannya, lalu
menjatuhkan tubuhku di atas
tempat tidur, ke dalam pelukannya.
"Capek?" ia bertanya.
Tangannya memijat dada dan
pangkal lengan kiriku. Aku
mengangguk. Capeknya bukan di
otot, Ma. Tapi di hati.
" Mau aku.. mm..?"
Kupegang tangannya saat ia mulai
mengelus bagian bawah pusarku.
" Aku mau keluar sebentar." ucapku,
mencoba untuk tersenyum.
Wanita itu mengangguk.
Aku bangkit dari tempat tidur, lalu
melangkah keluar kamar. Bingung.
Apa yang harus kulakukan?
Kulangkahkan kakiku menuju dapur,
membuka kulkas, dan mengeluarkan
botol jus melon yang isinya masih
tersisa sepertiga. Jus melon itu
membuat tenggorokanku yang
kering menjadi lebih segar. Begitu
pula otakku. Mungkin kalau ada jus
melon penghilang rasa bersalah,
akan sangat berguna saat itu.
Tanpa sadar, kesegaran itu
membawa kakiku melangkah
melintasi lorong rumah. Saat kubuka
pintu kamar berwarna merah jambu
itu, aku tersenyum. Kamar itu
terasa hangat sekali.
Aku tidak berani menyalakan lampu.
Takut kalau bidadari kecil itu
terbangun nantinya. Jadi kubiasakan
pandanganku dalam gelap, sebelum
melangkah lebih dekat, sampai ke
pinggir tempat tidur. Angin dari AC
ini dingin sekali, pikirku dalam hati.
Aku membalikkan tubuhku dan
menuju AC yang mendengung di
belakangku. Aku sedikit heran saat
melihat tombol sudah menunjuk ke
LOW. Belum ada kontrol temperatur
seperti AC di kamarku sendiri. AC
tua ini masih bagus, selalu begitu
kataku pada isteriku.
Masih merasa dingin dan bingung,
aku mengangkat bahu dan
melangkah mendekati tempat tidur.
Senyumku mengembang saat
melihatnya. Bidadari kecilku, bisikku
dalam hati. Masih tersenyum,
kuangkat selimut yang menutup
sampai ke pundaknya. Dan bidadari
kecilku menggeliat, menyadari
kehadiran bapaknya.
Aku meloncat mundur dan
memegangi tembok. Wajah gadis
itu..! Gadis itu..! Gadis itu
menyeringai ke arahku. Matanya
membeliak mengerikan. Bola mata
seolah hendak melompat dari situ.
Ia menyeringai menampakkan
deretan giginya yang kuning. Lalu
matanya memutih dan seringainya
hilang, berganti dengan mulut yang
setengah membuka.
" AKK..! AKK..!" desahan itu menggema di
kepalaku.
" Tidak..!" aku berbisik dan menutup
telingaku. Kupejamkan mata.
Saat aku membuka mata, hanya
dengung AC dan keremangan yang
menyambutku. Keringat dingin
mengucur di dahiku. Bulu tengkuk
yang sedetik lalu berdiri sudah
kembali lemas. Tapi jantungku masih
berdegup kencang. Kuberanikan diri
untuk kembali mendekat.
Kuhembuskan napas lega saat
melihat bidadari kecilku di sana.
Masih tetap cantik dan molek, mirip
ibunya. Tersenyum lega, kubetulkan
tepian selimut yang menutupi
tubuhnya. Saat itu mendadak hawa
dingin kurasakan lagi. Kali ini lebih
dingin. Berkerenyit ngeri, aku
membalikkan tubuh menuju pintu
keluar. Mirip kucing kena air, aku
menutup pintu dan cepat-cepat
kembali ke kamarku sendiri.
Isteriku menyambutku dengan
wajah heran.
" Dari mana saja, Pa? Tadi aku
mendengar suara. Papa baik-baik
saja ?"
Aku tidak tahu harus mengatakan
apa. Aku hanya memandang ke
arahnya dengan pandangan kosong.
Saat aku berhasil menguasai
ketakutanku. Sedih muncul. Rasa
bersalah muncul.
"Aku akan menjadi Papa yang baik,"
begitu aku berkata padanya saat
bidadari itu lahir ke dunia.
Aku masih mengingatnya dengan baik
sekali. Dan waktu itu ia berkata,
" Aku percaya padamu, Pa."
Semuanya terasa menjadi sebuah
kebohongan besar sekarang. Jadi
bohong setelah bertahun-tahun
tampak nyata.
Aku tidak sadar bagaimana ia
mendadak ada di hadapanku.
Isteriku mengangkat tangan dan
menempelkan punggung telapaknya di
keningku.
" Kamu berkeringat. Kamu sakit?"
ucapnya dengan nada khawatir.
Kugelengkan kepala. "Tidak, aku tidak
apa-apa."
Lagi-lagi sebuah dusta. Entah
berapa banyak lagi yang akan
mengalir dari mulutku. Aku tidak
tahu.
Isteriku lalu mencium bibirku. Aku
merinding saat kusadari apa yang ia
mau dariku saat itu. Tapi tubuhku
tidak kuasa menahan gejolak yang
ditimbulkannya. Dari gesekan-
gesekan buah dadanya. Dari caranya
memeluk dan mempermainkan cuping
telingaku.
Tidak berapa lama kemudian, kami
sudah bergulat tanpa busana di
ranjang. Menggeluti satu dengan
lainnya seperti ular, dengan tangan
dan kaki. Bibir saling berpagutan.
Tangannya bergerak aktif membelai
bagian-bagian tubuhku. Aku pun
tidak kalah sengit. Semakin
bernafsu memainkan jemariku di
dalam liang kewanitaannya. Masih
berpagutan, ia tersenyum. Matanya
yang semula mengatup menatapku
mesra.
Sedetik setelah aku tersenyum,
isteriku mendorong pundakku lalu
mengangkangi tubuhku. Tidak tahan
dengan sensasi yang muncul kala
batang kemaluanku didudukinya, aku
mengerang dan membusurkan
punggungku. Isteriku bergerak-
gerak maju mundur di atasku.
" Ahh.. ahh..!" erangannya dan
eranganku menyatu.
" Ahh.. ah.. AKK..! AKK..!"
Aku membuka mata, membelalak
ngeri.
GADIS ITU..! GADIS ITU..! IA DI
ATASKU SEKARANG..! Ia menyeringai.
Menyeringai jahat. Matanya
membeliak, bolanya hendak melompat
keluar. Kemudian matanya memutih,
dan bibirnya setengah membuka.
Hawa terasa dingin sekali seketika.
" AKK..! AKK..!"
"Aaarrgghh..!" aku berteriak sekuat
tenaga.
Aku mendorong lenganku dan
melontarkan tubuh itu dari atasku.
Kuayunkan lenganku ke depan.
" Pergi..! Pergi..!" teriakku seraya
menutup mata.
Suara benda jatuh dan erang
kesakitan membuatku tersadar.
Saat kubuka mataku, kulihat
isteriku mengaduh di lantai.
"Ma..?" panggilku terkejut.
Isteriku masih mengelus-elus
pinggulnya saat ia menatapku
dengan pandangan bertanya-tanya.
" Pa..? Kenapa sih..? Ada apa..?"
Aku menutup wajahku dan tidak
tahu harus berkata apa. Kurasakan
tempat tidur bergerak saat
isteriku naik. Tangannya menyisiri
rambutku.
" Ada apa, Pa..? Ada masalah apa..?"
Aku tidak dapat menceritakannya.
Aku tidak mau menghancurkan
segalanya. Aku takut. Aku seorang
bapak rumah tangga yang baik.
Seperti yang pernah kuucapkan dulu.
"Aku hanya lelah. Itu saja." aku
berkata, seraya menurunkan tangan
dan tersenyum.
Isteriku membalas senyumanku. Ia
menarik kepalaku dan
menyandarkannya di dadanya.
" Maaf, Pa. Aku tak tahu. Tidur saja
ya ?"
Aku mengangguk. Aku memang lelah
sekali. Lelah di fisik dan otakku.
Kemudian aku tertidur sepuluh
menit kemudian.
Di kantor, keesokan harinya, semua
tampak kusut. Semua tampak
memikirkan kejadian kemarin. Semua
merasakan hal yang sama. Rasa
bersalah di dalam hati. Terutama
Erwin, yang menjadi pemicu awal.
Semuanya merasakan yang sama.
Dihantui. Bukan hanya aku ternyata,
semuanya menatap ke arah meja.
Semuanya membaca lagi huruf demi
huruf itu. Semuanya memandang ke
arah gambar yang sama. Gadis itu,
siapa lagi.
SEORANG GADIS DI BAWAH
UMUR MENJADI KORBAN
PERKOSAAN DAN
PEMBUNUHAN.
Saat itu semuanya sadar. Rasa
bersalah itu akan tetap ada. Rasa
bersalah dan kengerian. Rasa
menyesal saat kami sadar bahwa
kami semua punya waktu untuk
menghentikan segalanya. Waktu yang
lenyap karena kebutaan, karena
takut yang menopengi birahi setan
dan iblis. Gadis itu pasti
menyalahkan kami. Arwahnya pasti.
Karena kami ikut menidurinya. Ikut
meniduri calon bangkai itu. Bocah
yang itu. Gadis yang itu.
Dalam hatiku bertanya-tanya.
Pertanyaan serupa yang kukira
mereka ajukan pula di benak
mereka.
" Aku tidur dengan siapa malam
nanti.. apakah ia akan muncul lagi..
apakah aku bisa tenang malam ini..
lalu.. lalu.. dan lalu.. ?"

mustofa satrio 04 Mar, 2011


--
Source: http://mustofaxxxzone.blogspot.com/2011/03/aku-tak-kuasa-menatap-matamu.html
~
Manage subscription | Powered by rssforward.com

UNLIMITED DOWNLOAD 3GP BOKEP TERBARU CLICK DISINI......

NO HP CEWEK2 PANGGILAN GILA SEXS CLICK DISINI......

ALAMAT FACEBOOK< TWUITER, dan No HP CEWEK2 (AYAM KAMPUS) INDO CLICK DISINI......