NYAI ELIS PENGALAMAN PERTAMAKU


Terus terang, semuanya terjadi
secara tidak sengaja. Pada waktu
itu aku membeli buku tentang
indera ke-enam atau "bawah sadar",
tadinya sekedar iseng waktu berada
di suatu toko buku. Inti buku itu
mengajarkan begini. Kalau kita
menginginkan sesuatu maka kita
harus mencoba menvisualisasikannya.
Suatu saat apa yang kita
visualisasikan itu akan terjadi, akan
terlaksana. Mimpi? Bukan. Sebab
untuk mencapai indera ke-enam
seseorang justru tidak boleh
tertidur, tetapi perlu menurunkan
gelombang listrik di-otaknya dari
gelombang beta menjadi alfa.
Caranya? Gampang sekali. Kita cukup
memejamkan mata, membayangkan
menuruni tangga spiral dengan
minimal 10 gigi. Saat anda
membayangkan ini, gelombang listrik
di otak anda akan menurun
frekuensinga dari 13 cycle atau
lebih per detik, menjadi 8-13 cycle
per detik. Kelihatannya mudah
tetapi butuh latihan, jadinya ya
sukar. He… He.. Nah di saat itulah
kita memasuki bawah sadar
(unconsciousness)
Apa keinginnan saya? Lha ini yang
kurang ajar. Aku ingin nangkring di
tubuh Nyai Elis (waktu muda
panggilannya Neng Elis). Nyai Elis
adalah ibu kostku. Kenapa Nyai?
Pertama, kemungkinan hamil nol
persen. Pada usia 48 tahun biasanya
wanita sudah masuk masa
menopause. Yang kedua, ditanggung
bersih, sehat tak mungkin kena
penyakit "kotor" seperti gonorrhoe,
syphilis, HIV dsb. Yang ketiga, gratis
tidak perlu bayar, karena sama-
sama menikmati. Untuk wanita,
bersebadan dengan orang usia lebih
muda akan menambah hormon
estrogen, hormon khas wanita.
Kalau wanita kekurangan hormon ini
akan menderita osteoporosis, yaitu
tulang menjadi rapuh, mudah patah.
Meskipun sudah kepala empat, tapi
jangan meremehkan kecantikannya.
Wajah Nyai masih terlihat ayu. Kulit
kuning langsat, tubuh langsing
semampai. Secara legendaris, wanita
sunda sangat rajin memelihara
wajah dan tubuhnya. Mandi lulur
sudah seperti prosedur tetap
mingguan. Membedaki wajah dengan
berbagai ramuan menjadi rutinitas
harian. Itu sebabnya tidak hanya
wajah dan tubuhnya yang
mengesankan. Bau badannya juga
sedap dengan aroma lembut. Lalu
kalau mau tahu seperti siapa?
Seperti siapa ya..? Nah kira-kira
seperti itu.. Diana Lorenza, janda
beranak satu dari Heru Kusuma.
Sudah tiga tahun aku tinggal di
kost milik keluarga Padmadireja
(suami Nyai Elis), pensiunan wedana
di salah satu kabupaten di Jawa
Barat. Keluarga Pak Padma-Nyai Elis
ini mempunyai putera dua orang,
semua sudah berkeluarga dan
tinggal di Jakarta. Tinggalah Bapak
–Ibu semang kostku ini dibantu
seorang PRT dan seorang supir.
Semua karyawan ini pulang sore.
Sudah seminggu aku latihan
meditasi, belum ada hasil. Tambah
tiga hari lagi, meskipun hampir
putus asa. Tiba-tiba.., pada hari ke
sebelas..
Malam itu sudah pukul 10, pintu
kamarku diketuk orang.
"Mas Agus.. Mas Agus"
"Ya.. Nyai"
"Tolong kerokin ibu sebentar ya.."
Pucuk dicinta, ulam tiba, burung
dahaga, apem menganga.., hatiku
berjingkrak bukan main.
"Sebentar Bu, saya ganti pakaian
dulu"
Kamar-kamar yang dipakai kost
letaknya di belakang rumah utama,
dipisahkan oleh satu kebun kecil. Ada
enam kamar, membentuk huruf U
mengelilingi kebun. Masing-masing
kamar berpenghuni satu orang.
Kebetulan waktu itu masa liburan,
namun karena aku harus mengejar
"deadline" penyelesaian skripsi,
terpaksa aku tidak dapat mudik.
Hiya khan, masak sudah jadi
mahasiswa PTN terkenal seantero
dunia rela di-DO.
Singkat cerita aku sudah duduk di
tepi tempat tidur di kamar Nyai.
Duduk dengan bersimpuh, ya..
seperti "pengerok" professional itu.
Badan Nyai dalam posisi tengkurap
di depan saya. Punggungnya yang
putih, mulus tanpa penutup apapun.
Hanya tali BH sudah dilepas, tetapi
buah dadanya masih sedikit terlihat,
tergencet di bawahnya. Leher Nyai
terlihat jenjang, putih, dengan
rambut yang panjang sampai ke
pinggang, disibakkan ke samping.
Punggung ke bawah ada sejenis kain
sarung yang diikatkan sekenanya
secara longgar. Ke bawah, kain itu
hanya menutupi sampai lipatan
lutut. Di bawahnya betis yang halus,
kencang.
Wajah Nyai menghadap ke samping
di mana saya duduk. Sesekali
meraba lutut saya, entah apa
maksudnya. Pemandangan ini mampu
dan makin mengeraskan burungku
yang sejak dari kamar tidurku mulai
melongok, eh.. bangun menggeliat
(Jawa: ngaceng). Dalam waktu 15
menit seluruh punggung Nyai sudah
aku keroki. Suasana sekitar kamar
hening, hanya degub jantungku yang
makin mengeras.
Burungku, pelan tapi pasti makin
menegang juga. Aku diam, Nyai juga
demikian. Mau ngomong apa aku?
Bicara tentang Pak Padma..? Ah
sama aja bicara tentang
kompetitor. Toh malam ini aku yang
akan menjadi "Mas Padma", akan
menumbuk padi di lumbung Nyai. Mau
ngomong anak-anak Nyai? Yang akan
ditengok Pak Padma yang sore tadi
berangkat? Ngapain toh sebentar
lagi aku akan menganggap Nyai ini
ibarat pacarku.
"Pinggangnya juga ya Mas.."
"Ya.. Ya.. Bu..", jawabku seperti
terbangun dari lamunan berahi.
Aku tarik kain yang menutupi
pinggang Nyai. Ya ampun.. Rupanya
Nyai sudah melepas celana dalamnya.
Kini di depan mataku ada
pemandangan yang.. Waduh.. Ada
gambaran parit sempit di tengah
tulang pinggang memanjang ke
bawah.. Terus.. Ke bawah, berujung
di satu celah sempit di antara dua
bukit pantat yang putih padat..
Menggemaskan.. Aku bayangkan.. Apa
yang ada di depan pantat itu..
Tiba-tiba Nyai membalikkan
badannya..
"Depan ya Mas.."
Dengan mata terbelalak kaget, kini
aku melihat pemandangan yang luar
biasa, yang belum pernah kulihat
selama 24 tahun berada di kolong
langit. Seorang wanita dengan kulit
langsat telanjang bulat, dengan
lingkaran perut pinggang ramping,
buah dada masih lumayan besar,
meskipun sudah rebah ke samping.
Di tengan buah dada yang ber "pola"
tempurung, terlihat puting besar
warna hitam dikelilingi area hitam
kecoklatan.. Di bawah pusar ada
rambut yang mula-mula jarang
tetapi semakin ke bawah semakin
lebat, sepeti gambaran menara
"Eiffel" dengan ujung runcingnya
menuju pusar. Di pangkal tumbuhnya
rambut terdapat gundukan vagina
yang pinggir kiri dan kanannya
tumbuh rambut, bak gambaran
hutan kecil.. Ampun mana tahan..
Mau pecah rasanya penisku
menahan tekanan akumulasi cairan
di pembuluh darah penisku.
"Nyai Aku nggak tahan lihat begini..?"
"Maksudnya, Mas Agus sudah capai..?"
"Enggak Nyai.. Burung saya sudah..
Nggak bisa.. Nggak bisa.. Saya nggak
tahan lagi..!"
"Lho, kok baru bilang sekarang.. Ayo
naik..", sambil berkata demikian
tangan kanannya melambai,
mempersilakanku menaiki perutnya..
Seperti kucing kelaparan, aku
segera mengangkangi perut Nyai,
aku mau mencium pipinya, lehernya,
mau melumat bibirnya. Tetapi
gerakanku membungkuk terganjal
burungku yang keras dan sakit
waktu tertekuk. Malah ketika
kupaksakan dan terus tertindih
perutku, pertahanan katupnya jebol.
Karena tiba-tiba.., crut.. crut.. crut..
Dari burungku tersembur,
memancar air mani, yang disertai
rasa nikmat. Ejakulasi!! Semburan
air maniku mengenai dada Nyai,
leher dan perutnya.
Setelah menyembur, burungku
sedikit kendur, aku peluk leher Nyai,
aku kulum dengan berapi-api
bibirnya. Rupanya Nyai merespons
dengan penuh gairah juga. Aku gigit
dengan lembut bibirnya, sesekali aku
sedot lidahnya. Lima menit lamanya,
baru aku tersadar.
"Maaf Nyai, air mani saya tadi.."
"Ah, nggak apa-apa, itu tandanya
Mas Agus masih "jejaka ting-ting",
nanti sebentar juga bangun lagi.",
sambil berkata demikian, Nyai
mencium lagi bibirku. Tentu saja aku
membalasnya dengan lebih bernafsu.
Kecuali bibirku melumat bibir Nyai,
tanganku juga meraba buah dada
Nyai. Memang sudah tidak gempal,
tapi masih "berisi" 80 persen. Kedua
tanganku masing-masing meraba,
memeras-meras, memilin-milin
puting Nyai. Kadang saking gemasnya
cengkeraman tanganku ke buah
dadanya agak keras, menyebabkan
Nyai meringis menggeliat. Begitu
juga bila puting Nyai aku pilin agak
kuat, nyai bereaksi..
"Enak, enak.. Tapi sakit Mas.. Jangan
keras-keras.. Yang (maksudnya
Sayang).."
Tanpa terasa saat aku menggulati
tubuh Nyai, mendekami dada, perut,
menekan vagina Nyai dengan penisku,
terasa burungku mulai menggeliat
lagi. Makin lama makin keras.
"Nyai.. Burung saya.. Nyai mau.. Lagi..?"
"Nah, apa khan.. saya bilang, ayo.. lagi,
tapi 'ntar.. Yang, aku bersihkan
badanku dulu ya.. ya.."
Nyai masuk ke kamar mandi dalam
di ruang tidur. Keluar dari kamar
rambutnya terlihat sedikit basah,
sebagian terjurai di lengan. Ya..
Tuhan.. Cantik sekali dewi ini..
Aku pun juga masuk juga ke kamar
mandi, membersihkan bagian badan
yang terkena air mani. Keluar dari
kamar mandi dalam keadaan
telanjang bulat, terlihat burungku
tegak, keras mendongak ke atas
membentuk sudut 45 derajat
dengan garis horizontal. Batangnya
besar, warna kehitaman dengan
tonjolan pembuluh darah membujur,
sebagian melintang. Seperti tongkat
ukiran. Ujungnya, gland penis, besar,
kemerahan, membentuk topi baja
yang mengkilat. Antara gland penis
dan batang terlihat leher penis
yang dangkal. Rasanya aku mau
berkelahi dengan membawa senjata
golok.
Waktu Nyai melihat aku dan
memperhatikan penisku..
"Hei.. Gede buanget.. Hebat buanget..
Pasti nikmat buanget.." Aku
menyahuti tiruan iklan itu, dengan
meletakkan ibu jari tangan kananku
di depan bibirku..
"Sssstt.." Tentu saja Nyai senyum
atas jawaban spontanku.
Langsung aku naiki perut Nyai.
Dengan lutut menahan badan, aku
sedikit menunduk, memegang
penisku. Segera kumasukkan ke liang
vagina Nyai. Aku takut kalau nanti
terlambat masuk ke vagina, maninya
tersembur lagi keluar. Nyai maklum
juga kelihatannya. Kupegang penisku,
kepalanya kuhadapkan di depan
vagina Nyai, lalu kudorong masuk.
Bless.. Lega sekali rasanya. Kalau
nanti muncrat, ada di dalam liang
vagina Nyai..
Lalu aku rebahkan tubuhku ke depan
dengan bertumpu pada kedua sikuku.
Bertemulah dadaku dengan buah
dada Nyai, bibirku dengan bibir Nyai.
Kedua tanganku memegang pipi Nyai,
Nyai kucium mesra, lalu kucucuk-
cucukkan bibirku pada bibirnya, eh..
menirukan burung yang bercumbu.
Sesekali tanganku meremas buah
dadanya, memilin putingnya,
terkadang mulutku turun ke bawah,
menghisap puting buah dada Nyai,
bergantian kanan dan kiri
Akan halnya penisku waktu
kumasukkan ke liang vaginanya,
rasanya memasuki ruang kosong,
berongga. Tetapi setelah itu
rasanya ada kantong yang
menyelimuti. Permukaan kantong itu
bergerigi melintang, pelan-pelan
kantong itu "meremas" penisku. Tak
ingin cepat berejakulasi maka
kutarik penisku, kantong vagina itu
tidak "mengejar"nya. Kumasukkan lagi
seperti tadi, terasa masuk ruang
kosong, sebentar liang vagina mulai
meremas, kutarik lagi. Begitu
beberapa kali. Terkadang penisku
agak lama kutarik keluar, sampai
tinggal "topi bajanya" yang ada di
antara 'labia mayora'-nya. Terus
begini Nyai mencubitku..
"Masukkan lagi Yang.."
Gerakkan in-out ini makin cepat,
"pengejaran" penis oleh sekapan
kantong vagina juga makin cepat. Di
samping itu di pintu masuk, bibir
luar (labia mayora) dan bibir dalam
(labia minora) juga ikut "mencegat"
penisku. Makin cepat aku keluar-
masukkan penisku, Nyai terlihat
makin menikmati, demikian juga aku
sendiri. Ibarat mendaki gunung
hampir tiba di puncaknya. Kecepatan
penisku memompa vaginanya
semakin bertambah cepat, denyut
nadiku semakin bertambah, nafas
juga semakin cepat. Terlihat juga
wajah Nyai semakin tegang menanti
puncak orgasme, nafasnya terlihat
juga semakin kencang. Cairan di
liang vagina Nyai juga terasa
semakin banyak, ibarat oli untuk
melicinkan gesekan penisku. Peluhku
mulai menetes, jatuh bercampur
peluh Nyai yang tercium sedap dan
wangi.
Makin cepat, makin tinggi.., tiba-tiba
penisku terasa disekap rongga
vaginanya dengan kuat. Kuat sekali
dengan denyutan yang cepat tetapi
dengan amplitudo yang rendah.
Orgasme! Nyai mencapai orgasme. Di
saat itu lengan Nyai memeluk
leherku kuat sekali, sedang
tungkainya memeluk pantatku
dengan kencang.
"Aihh..", terdengar desah kepuasan
keluar dari bibir Nyai.
Beberapa menit kemudian lubang
penisku terasa jebol, cairan
menyemprot keluar entah berapa
cc. Nikmat.., nikmat sekali.. Nikmat
luar biasa. Orgasme Nyai terjadi
lebih dulu dari ejakulasiku. Kalau saja
Nyai masih bisa hamil, kata dokter
anak yang lahir nanti adalah pria.
Saya masih tetap memeluk Nyai
sambil mengendurkan nafas. Pelan-
pelan penisku mulai mengendur,
mengkerut. Tapi rupanya Nyai
merespons. Paha dan tungkainya
diselonjorkan (diluruskan). Maksudnya
memberi jalan agar penisku keluar.
"Terima kasih Yang, terima kasih
Mas Agus.. Mas hebat sekali..",
bisiknya.
" Kau cantik sekali Nyai, secantik
bidadari..", balasku
Badanku kurebahkan di samping
badan Nyai, memeluk Nyai yang tidur
telentang. Kami tidur dalam keadaan
telanjang, hanya ditutupi selimut.
Nikmatnya Nyai, nikmatnya wanita,
nikmatnya dunia.

mustofa satrio 28 Feb, 2011


--
Source: http://mustofaxxxzone.blogspot.com/2011/02/nyai-elis-pengalaman-pertamaku.html
~
Manage subscription | Powered by rssforward.com

UNLIMITED DOWNLOAD 3GP BOKEP TERBARU CLICK DISINI......

NO HP CEWEK2 PANGGILAN GILA SEXS CLICK DISINI......

ALAMAT FACEBOOK< TWUITER, dan No HP CEWEK2 (AYAM KAMPUS) INDO CLICK DISINI......